Something left unsaid and never explained

 

Hujan jatuh malam ini di Surasak, sebuah distrik di Jalur Silom, Bangkok, di saat perkiraan cuaca mendadahkan sebuah rentang waktu pada awal Mei yang seharusnya menjadi salah satu bulan terpanas setelah April. Entah mengapa malah hujan mengguyur dengan lebat, aku tidak mengerti. Bukankah ada banyak hal yang meleset dari apa yang kita yakini, bukan? Setidaknya aku memercayai hal ini dan hal itu berlaku ketika kita berbicara mengenai perasaan.

Secangkir cokelat panas mengepul dari cangkir berwarna kuning gading dengan gambar seorang anak kecil memegang sebuah balon yang baru saja aku buat. Perlahan, aku membuka sedikit pintu balkon apartemen. Seharusnya ada aroma petrikor ketika hujan pertama kali datang. Layaknya sambutan berupa sepatah kata dari bumi untuk hujan yang telah lama menghilang dan kini datang kembali, yang di sana terselipkan rasa rindu demi sebuah pertanyaan, ‘apa kabar? Lama tidak berbincang.’

Hujan, kata banyak orang, memiliki daya magis. Ia bisa menghadirkan kembali memori yang lama telah kau pendam. Ia bagai mesin back hoe yang akan mengeruk kenangan yang sudah lama kau singkirkan. Dan malam ini begitu sempurna. Secangkir cokelat panas, derai hujan, dan kamu yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Sesuatu bernama Akal Sehat bertanya, ‘S, tidak ada gunanya. Mengapa kau lakukan ini pada dirimu? Aku tidak mengerti, mungkin kau adalah seorang masokis.’

Aku tertawa. ‘Apakah benar begitu? Apakah aku seorang yang merasa senang karena menderita? Apakah dengan mengingat sosoknya, mengingat perihnya, lalu aku bisa disebut seorang masokis?’

Akal Sehat bertanya kembali, ‘Lalu, kau sebut apa?’

Aku tercenung. Aku juga tahu benar memang tidak ada gunanya untuk mengingat sesuatu yang lampau.

‘Mungkin kau benar, aku seorang Masokis.’ Aku mengaku. Akal Sehat berlalu. Ia mundur dari ruang waktu. Kembali pada tempatnya yang gelap di dalam bilik kesadaranku.

Aku menyesap cokelat panasku. Cokelat panas ini kubuat dengan sedikit tambahan gula. Aku tidak terlalu suka krimer. Krimer akan merusak rasa cokelat yang otentik dengan rasa agak pahit. Dan memang begitulah hidup, bukan? Terasa pahit dengan sedikit rasa manis samar, yang anehnya malah bikin kecanduan. Aku mendefinisikan cokelat panas minuman kesukaanku seperti itu. Hal yang sama berlaku juga untuk minum kopi. Meskipun jarang sekali meminumnya, aku tidak pernah menambahkan gula. Demikian aku menikmati v-drip robusta. Robusta yang pahit, memiliki kadar kafein lebih tinggi, tidak banyak varietas, lebih murah, dibanding arabika, tapi tetap tak kehilangan esensinya sebagai kopi berkualitas yang memperlihatkan sesuatu yang apa adanya dan jujur.

Dan pada dini hari ini, aku mencoba untuk jujur pada diriku sendiri. Aku ingin membabarkan perasaanku. Tentang kepedihan yang membalut diriku beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana aku dan dirinya yang jarang sekali menemui sebuah titik kesepakatan. Kami memang dua sisi yang berbeda, seperti kutub utara dan selatan yang tidak akan pernah bersatu. Sejauh itukah kami? Ya, sejauh Timur dari Barat, konsep dua manusia yang datang dari latar belakang dan pengalaman yang tidak bisa dipertemukan. Masing-masing adalah sebuah entitas baru, varietas baru, layaknya robusta dan arabika.

Dari semua manusia yang pernah kukenal di mana aku bersinggungan secara pribadi, dengan dirinyalah aku mendapati pengalaman paling dalam dan menegangkan. Entah mengapa ketika kami berbicara dengan dua bahasa yang berbeda, kami tidak menemukan titik temu, dan semuanya berakhir seperti perdebatan sengit yang sayangnya tidak seru, melainkan menyakitkan. Mungkin aku menyakitinya, begitu pula sebaliknya. Kami terkena masing-masing anak panah beracun. Racun itu pelan-pelan menggerogoti sosoknya di mataku dan memusnahkan sosokku dalam benaknya. Lalu, masing-masing lenyap.

Lenyap itu membuat kami menjadi asing satu sama lain. Dunia kami terasa jauh dan berbeda. Semesta menginginkan kami berpisah. Atau, dalam hati masing-masing, kami sebenarnya mengetahui bahwa kami tak saling melengkapi. Oleh sebab itu, kediaman di antara kamilah yang menjadi perantara. Pedih, tidak akan aku sangkal. Dan rasa itu aku bawa hingga aku berada ratusan mil jauhnya di Bangkok. Aku tahu, ada yang belum selesai, tapi aku pun ragu, apakah benar apa yang tidak pernah dimulai harus diselesaikan?

Hujan malam ini membantuku menyerap kembali kepingan-kepingan masa lalu, menata kembali apa yang bisa diselamatkan, dan memberikan ruh supaya aku dan dirinya bisa menyala dalam terang masing-masing. Tapi hatiku masih pedih karena kami berpisah dalam diam dan masing-masing pergi tanpa meninggalkan penjelasan.

Comments